Pompanisasi menjadi salah satu cara mengantisipasi kekeringan pada lahan tanaman padi | Sumber Foto : Humas Tanaman pangan.
JAKARTA I MABESBHARINDO.com — Sebagian besar wilayah Indonesia kini telah memasuki musim kemarau. Karena itu, petani perlu mewaspadai dan mengantisipasi kekeringan yang bakal menerjang lahan pertanaman agar tak gagal panen. Tantangan akan kebutuhan inovasi teknologi sederhana yang dapat diterapkan petani secara mandiri dan spesifik lokasi perlu dipikirkan bersama.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun ini akan mulai terjadi pada April 2021. Musim kemarau akan mulai dialami 22,8 persen Zona Musim (ZOM), yaitu beberapa zona musim di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa.
Pada April hingga Mei lalu merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau (masa pancaroba). Kendati demikian, terjadinya musim kemarau di sejumlah daerah tidak serentak. Hasil pemantauan terhadap anomali iklim global menunjukkan kondisi La Nina diprediksi masih akan terus berlangsung hingga Mei 2021 dengan intensitas yang terus melemah.
Menurut prediksi iklim 2021, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, Dodo Gunawan merekomendasikan untuk mewaspadai potensi kekeringan di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, dan NTB yang puncaknya terjadi pada Juli dan Agustus. “Waspadai potensi ketersediaan air tanah dan sesuaikan pola tanam dengan memilih varietas toleran kekeringan”, katanya.
Bagaimana petani menghadapi kondisi iklim yang kian sulit ditebak? “Beberapa contoh teknologi sederhana adaptasi kekeringan yang dapat diterapkan oleh petani,” kata Elza Surmaini, Peneliti di Balai Penelitian Iklim dan Kilmatologi, Badan Litbang Pertanian.
Teknologi tersebut diantaranya teknologi hemat air, infrastruktur panen air, teknik penyiraman dan teknik pengelolaan lahan dan air. Selain itu, petani dapat menyiasati kekeringan dengan cara percepatan tanam (GOWAH, GORA, Sistem Culik)
“Petani juga bisa mengembangkan teknologi pemanfaatan air permukaan dan air tanah (pompa irigasi dan sumur bor) dan penggunaan pembenah tanah. Namun perlu diingat penanganan terbaik untuk adaptasi kekeringan adalah pemanfaatan informasi prediksi kekeringan pertanian,” katanya.
Bantuan ke Petani :
Salah satu contoh keberhasilan pemanfaatan teknologi adaptasi kekeringan dilakukan Kelompok Tani Makmur, Desa Getas, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang memanfaatkan bantuan pembuatan dan pengembangan sarana pengaliran air.
Ketua Poktan Makmur, Jazuli mengakui, sebelum mendapat bantuan kondisi lahan kelompok tani hanya bisa panen sekali dalam setahun. Padahal ketersediaan air permukaan yang bersumber dari Sungai Bengawan Solo sangat optimal dan terus menerus tersedia.
“Sangat disayangkan, kami tidak bisa memanfaatkan air sungai tersebut karena posisi lahan kami lebih tinggi dan agak jauh dari aliran Sungai Bengawan Solo,” ungkap Jazuli. Namun kini lanjutnya, dengan bantuan pengembangan jaringan pengaliran air kepada kelompok tani, lahan petani kini menjadi produktif.
“Kami sangat senang. Teknologi ini sangat mungkin untuk dilakukan kelompok tani lain yang ingin memanfaatkan sumber air sungai, namun terkendala jarak yang jauh,” katanya.
Kepala UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah Herawati Prarastyani yang akrab disapa Hera menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah berupa bantuan penanganan kekeringan di wilayah kerjanya.
Alokasi bantuan penanganan kekeringan diantaranya pembuatan sumur suntik/sumur dangkal, bantuan pompa, serta padat karya penanggulangan dampak kekeringan. “Bantuan itu sangat bermanfaat dalam mengamankan produksi tanaman pangan, ada penambahan luas tanam serta menambah kesempatan kerja di sektor usaha tani melalui padat karya tersebut,” ujar Hera.
- Baca Juga : Serapan KUR Pertanian Mencapai 63,3 Persen
Sementara itu, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Mohamad Takdir Mulyadi dalam kesempatan terpisah menyampaikan rasio luas terkena Dampak Perubahan iklim (DPI), baik banjir dan kekeringan yang dapat ditangani terhadap luas terkena DPI minimal 60%. Jika lebih dari angka tersebut, maka perlu terus didorong upaya pemanfaatan teknologi adaptasi kekeringan.
Beberapa upaya adaptasi kekeringan yang dapat dilakukan yaitu mengakses informasi iklim, normalisasi saluran/penampungan air, budidaya sesuai iklim setempat, optimalisasi bantuan pompa/gerakan penanganan kekeringan, optimalisasi kegiatan Dem Area Penanganan DPI/Penerapan Penanganan DPI.
“Kami juga mendorong petani menjadi peserta AUTP (Asuransi Usaha Tani Padi, red), serta bantuan benih bagi yang mengalami puso,” katanya. Beberapa strategi adaptasi kekeringan yang dapat dilakukan melalui mapping wilayah rawan kekeringan, early warning system (EWS) dengan pemantauan informasi iklim, pompanisasi, rehabilitasi jaringan tersier/kwartier dan menggunakan benih toleran kekeringan.
Dengan kondisi iklim yang kerap berubah, memang perlu ada terobosan agar petani bisa tetap bertanam dengan kondisi ketersediaan air yang tidak optimal. Untuk itu, perlunya pengembangan teknologi hemat air, penggunaan air secukupnya, tapi pertanaman tetap produktif.
(Ludi Sharindra)
Komentar