MAFIA TANAH (1): PERUBAHAN LETTER C DESA YANG TIDAK SESUAI DENGAN KEMUTAHIRAN

 

Pemerhati Kebijakan Publik dan Pembangunan: Andi Purnama

Data kepemilikan tanah di Desa/Kelurahan tersimpan dan tercatat pada buku RINCIK DESA atau BUKU C DESA yang sekarang dikenal di masyarakat dengan “Buku LETTER C”. Buku tersebut merupakan acuan awal dari suatu “KEPEMILIKAN” perbidangan tanah yang tercatat dan terpelihara secara terus menerus sebagai Kemutahiran dan Kesinambungan Data. Buku Letter C Desa, harus dipolakan/plotting dengan “Penggambaran Bidang-Bidang Tanah” yang disebut dengan “Peta Kerawangan”. Jadi, ada 2 buku penting yang terpelihara secara terus-menerus dan tidak boleh hilang/tergantikan, ketika yang menguasai tanah atau yang mengaku sebagai pemilik lahan “Mengklaim” bahwa bidang tanah tersebut adalah miliknya. Mereka harus membuktikan bahwa telah terjadi peralihan secara hukum terhadap tanah tersebut, ketika yang tercatat bahwa bidang/tanah itu diakui miliknya. Perbuatan hukum bahwa bidang lahan/tanah beralih pada seseorang/pihak lain, diantaranya melalui : Perbuatan Jual Beli, Jatuh Waris, Hibah, Wakaf, Tukar Menukar, Lelang.

Pencatatan Buku C/Letter C Desa beserta Kerawangannya, sebenarnya sudah dilaksanakan sebelum dan sesudah Kemerdekaan RI. Dokumen tersebut masih ada di beberapa Desa, yang keasliannya masih terjaga dan digunakan sampai sekarang. Catatan Kemutakhiran tentang kepemilikan tanah di desa, sudah ada dan tercatat dengan periode waktu pencatatan sejak 1936-1959. Perbidangan tanah yang terdata dalam catatan buku C Desa dan Kerawangan tersebut merupakan suatu “sistem teknik pencatatan”/Keadministrasian yang terkelola baik sejak jaman dahulu sampai tahun 1960-an. Barulah sejak tahun 1970 1980-an teknik tersebut mulai berubah dan tidak lagi tersusun dan tercatat dengan baik, tidak berkesinambungan dan kemutakhiran lagi. Karena buku C Desa lama (1936-1959) maupun Peta Kerangannya, banyak yang keberadaannya tidak diketahui lagi/hilang.

Pada tahun 1936 sampai 1954, sebenarnya Pemerintah Republik Indonesai, melalui penugasan Tentara Nasional Indonesia TNI pada waktu itu, mulai merapikan Peta Perbidangan dan Pencatatan di Setiap Desa, terutama di Pulau Jawa yang penduduknya mulai berkembang. Penugasan pembuatan perbidangan “Peta Desa” dan Perbidangannya pada waktu itu merupakan tugas TNI Angkatan Darat pada Bagian “JAWATAN TOPOGRAFI” PEMB. UK. TERRESTRIS yang di sahkan tahun 1953. Penugasan dan pembuatan ini peta ini digunakan untuk menata kembali Sistem Agraria dan Pertanahan pada waktu itu, yang sebelumnya dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial/Hindia Belanda. Pemutakhiran bidang kepemilikan tanah-tanah rakyat dahulu, sebelum Kemerdekaan telah terkelola secara rapi, tersistem, meskipun dalam bentuk buku yang berada di desa-desa, terutama Pulau Jawa. Hal ini digunakan sejak jaman dahulu untuk penarikan akan “Perpajakan Bidang Tanah” yang ada di desa/masyarakat. Penarikan pajak sesuai kepemilikan bidang tanah pada waktu itu, dan sudah mulai dikelola dan sistem administrasi secara baik sejak dimulai 1936.

Pembuatan “Peta Perbidangan Tanah” yang telah rapi dan diselesaikan oleh TNI Angkatan Darat waktu itu digunakan oleh Pemerintah RI, dalam pengelolaan Sistem Perpajakan yang dibidangi oleh satu Inspeksi Keuangan dan Jawatan Perpajakan di masing-masing daerah. Peta hasil pengukuran awal inilah digunakan sebagai “Acuan Awal Pertama Kalinya” secara resmi oleh Pemerintah RI. Seluruh penetapan perbidangan dan kepemilikan tanah mengacu pata Peta Dasar. Yang diterbitkan sekitar tahun 1959/1960. Seluruh Pemerintahan di setiap Kabupaten diberikan salinan perbidangaan yang resmi oleh Pemerintahan Pusat ke Daerah. Peta tersebut dibuat berdasarkan Titik Acuan Dasar Nasinal, Propinsi dan Kabupaten. Di mana setiap bidang yang diukur dan didaftarkan sesuai Acuan Titik Acu/Titik Ikat/Titik Kontrol atau yang lebih dikenal dengan istilah teknik pengukuran Titik BM (Bench Mark). Dari Titik Kabupaten dibuatlah titik BM di Kecamatan dan ditarik ke setiap desa-desa dalam pembuatan pengukuran bidang yang ada di desa.

Pemerintah RI membentuk Badan tersendiri untuk mengurus masalah pertanahan dengan membentuk/lahirnya Agraria di Tahun 1960, seluruh perbidangan tanah ini, telah diambil alih oleh Badan Pertanahan (ATR/BPN). Jadi pemerintah RI dalam pengesahannya memiliki Peta Bidang Acuan Dasar 1960 dengan format Letter A, Letter B (Kabupaten), Letter C (Desa), Pethok “Petok D” bukti kepemilikan dipegang seseorang. Format ini berjalan sering dengan Pemerintah merapikan Kembali Kepemilikan Tanah dengan menerbitkan peraturan “Pendafataran Tanah” dengan bentuk Pemberian berbagai jenis Hak (Hak Milik, Pakai, Usaha, Guna Bangunan, Sewa, Membuka Tanah, Memungut Hasil Hutan).

Kepemilikan tanah seseorang dengan berdasarkan pemilikan Bukti lembar “Pethok Padjak” dan Alas Dasar “Bukti Peralihan Hak” merupakan kekuatan hukum yang SAH, bahwa sesorang yang merupakan pemilik sebidang tanah tersebut, diperkuat dengan perbidangan yang telah dibuat oleh Pemerintah RI yang diterbitkan “Peta Acuan Dasar 1960” sebagai perbidangan tanah yang telah disusun dan diedarkan disetiap Pemerintah Kabupaten dan Badan Pertanahan Kabupaten pada saat itu. Sayangnya, pemilik “Lembar Pethok Tanah” banyak yang tidak terjaga “hilang” dan “dihilangkan” karena sejarah. Kesulitan secara yuridis untuk mengetahui dan membuktian bahwa tanah tersebut adalah merupakan harta miliknya, ataupun sebagai ahli waris yang sah sehingga dapat mengklaim bidang tanah tersebut merupakan Harta Bendanya karena berasal dari Garis Lurus Keturunan/AHLI waris yang sah.

Kemutahiran dan Kesinambungan Data, secara sistem yang terpelihara, setidaknya sangatlah mudah untuk membuktikannya, asalkan Pemerintah dan Badan Pertanahan Kabuaten membuka “Peta Acuan Awal Perbidangan Tanah” dan “Data Perpajakan atas nama-nama ditahun 1960-an yang sengaja dan berusaha ditutup-tutupi dengan dalih “hilang dan musnahnya” semua dokumen tersebut. Para pemilik lahan harus berjuang sendiri upaya yang panjang untuk mebongkar rahasia kepemilikan dengan minimnya bukti dan penutupan-penutupan informasi oleh berbagai pihak. (Tim )

Komentar