Mabesbharindo, Jakarta – Analisis terhadap sistem Pra Peradilan, Praperadilan adalah suatu mekanisme yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 11 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Mekanisme ini bertujuan untuk mengawasi tindakan aparat penegak hukum dan memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda atau Herzienner Inlands Reglement (HIR) hal ini memberikan sebuah konsep kejelasan terkait, untuk mengajukan permohonan sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan.
Rechter Comissaris (Hakim Komisaris
hakim komisaris yang ada di Rancangan KUHAP sama dengan praperadilan.
Cuma hakimnya tidak lagi ada di pengadilan, hakim bersifat teknis dan langsung dapat turun memantau jalannya penyidikan dan status pemeriksaan.
Analisis Umum :
Pada hakikatnya Pra Peradilan dan Hakim Komisaris memiliki persamaan, namun Hakim komisaris di atur untuk menggantikan Pra Peradilan, namun bagi analisa kami aktivis, hakim komisaris diatur untuk menggantikan praperadilan.
Namun, biaya dan resiko penggantian ini sangat besar. Lagipula, belum tentu serta merta menjamin efektifitas tugas pengawasan.
Kewenangan besar yang dimiliki hakim komisaris ini dikhawatirkan rentan dengan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power).
Andi mengaku tidak menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan demikian.
Selanjutnya, sudut hukum tata negara.
Dalam Rancangan KUHAP, hakim komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Pengadilan Tinggi daerah hukum setempat. Ini berimplikasi adanya intervensi eksekutif pada yudikatif, ujarnya.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menyatakan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Akan bermasalah dengan Independensi seorang hakim komisaris.
kekhawatiran sistem hakim komisaris akan menganggu sistem yang ada selama ini.
Hakim komisaris sistem yang sangat baru yang bisa menimbulkan konflik dalam tubuh lembaga Kepolisian dan Kejaksaan.
Sebagai aktivis Hukum dan HMI, saya berharap Pra Peradilan masih harus dipertahankan, Tujuan utama dari praperadilan adalah untuk melindungi hak asasi manusia tersangka maupun terdakwa dalam suatu proses pidana.
Praperadilan berupaya untuk mengurangi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, serta penghentian penuntutan.
Artinya jika Hakim Komisaris menggantikan Pra peradilan, maka kekhawatiran kami, akan muncul ketidak seimbangan kewenangan para aparat penegak hukum atau ketidak Check and balances.
Yang seharusnya Majelis Hakim cukup menilai upaya pembuktian dari pihak penuntut maupun kuasa terdakwa, baik dari tahapan proses pra peradilan, dakwaan, eksepsi, replik, dan duplik, Hakim cukup menjadi pengadil, karena Majelis Hakim harus berupaya melihat efek dari putusannya di setiap tahapan, bayangkan jika sebuah putusan majelis mengakibatkan JPU dan Kuasa Terdakwa sama2 tidak puas dari putusan Majelis Hakim mengenai sanksi terpidana.
Apalagi Pra Peradilan adalah sebuah asas, yang sifatnya dasar filosofis, jadi harus dipertahankan.
Differensiasi Fungsional
Indonesia adalah negara Hukum sesuai yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3, Diferensiasi fungsional adalah proses pembagian tugas dan kewenangan yang berbeda-beda untuk melakukan fungsi tertentu.
Di setiap organisasi negara dan masyarakat hal ini digunakan, sama di negara kita dengan adanya trias politica konsep montesque, dimana kita membagi kekuasaan negara dari pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Oleh karena itu, pula di dunia penegakan hukum, Diferensiasi fungsional dalam hukum acara pidana, Pembagian tugas dan kewenangan antara aparat penegak hukum, seperti penyelidik, penuntut umum, dan pengadilan. Perubahan hukum acara pidana yang menyatukan penyidikan (opsporing) sebagai bagian dari penuntutan (vervolging).
Prinsip diferensiasi fungsional diperkenalkan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Prinsip ini bertujuan untuk mempertegas kewenangan setiap aparat penegak hukum sesuai dengan tahapan peradilan pidana serta mengedepankan check and balances antara aparat penegak hukum yang satu dengan yang lainnya.
Karena itu, prinsip tersebut diharapkan mampu mewujudkan sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) di Indonesia.
Bagi kami sebagai aktivis HMI dan Penegakan Hukum, sebenarnya konsep differensiasi ini sdh cukup baik, hanya yanh menjadi problematika adalah penerapan kewenangan baik penyidikan hingga penuntutan terkadang menciptakan miis koordinasi antara lembaga kepolisian dan kejaksaan, karena kepolisian juga memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan dan kejaksaan memilikk kewenangan penyidikan hingga penuntutan, jika melihat proses ini kedua antara lembaga tersebut termasuk lembaga yudikatif, jika domitus litis (asas hukum yang menyatakan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur jalannya proses hukum adalah yang memegang kendali atas perkara) ada pada jaksa, maka jaksa akan disebut sebahai pengendali perkara. praktik penegakan hukum, jaksa tak lagi menjadi dominus litis yang aktif.
Padahal dengan terlibat aktif sedari tahap penyidikan di kepolisian, jaksa dapat dengan mudah menyusun surat dakwaan dan tuntutan. Sebab selain memahami betul kondisi penyidikan di lapangan, jaksa pun memiliki keterkaitan emosional dalam penanganan perkara.
Akan tetapi dari analisis kami, jika dominus litis sejak awal ada pada jaksa, maka fungsi dari kepolisian akan menjadi tumpul pelan-pelan, dan otomatis kepolisian hanya ada pada tatarab pengendalian keamanan saja.
Padahal dalam sistem kelembagaan, dalam RUU KUHAP yang baru, kami masih merasa kepolisian masih tetap jalankan fungsi penyidikan dengan berbagai proses tingkatannya, dan tidak menjadikan jaksa sebagai dominus litis, tetapi jaksa juga dapat mengikuti dan menganalisa perkembangan berkas perkara, yaitu diperlukan seharusnya kordinasi jaksa dan polisi yang sama2 aktif dalam sebuah perkara apalagi dalam hal pembuktian, sehingga differensiasi fungsional masih diperlukan.
Red.
Komentar