Pengelolaan Lapak Pasar Kayuagung Amburadul, Hasil Retribusi Pasar Rawan Bocor

Daerah, Pemerintahan979 Dilihat

MabesBharindo.com, OKI – Pengelolaan lapak Pasar Kayuagung kabupaten Ogan Komering Ilir perlu diawasi. Pasalnya hasil retribusi dari pedagang dan lapak yang berada di pasar terbesar di Kecamatan Kayuagung itu amburadul. Buktinya jumlah pedagang dan lapak di pasar itu tidak transparan, sudah tentu hasil retribusinya pun bakal tegak lurus dengan hal itu.

Informasi yang dihimpun tim investigasi Mabes Bhayangkara Indonesia (Mabes Bharindo), retribusi pedagang dan lapak pasar tidak terdata lengkap oleh petugas pasar. Bahkan tidak ada laporan yang jelas dari hasil retribusi pedagang maupun lapak. Kuat dugaan, pihak pasar langsung melaporkan hasil retribusi secara keseluruhan.

Penanggungjawab UPTB Pasar Kayuagung, Luwis saat disambangi mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki data lapak maupun pedagang pasar secara detail.

“Kami tidak mendata sedetil itu, tugas kami hanya karcis saja, urusan data silahkan tanya ke Dinas Perdagangan,” katanya, Jumat (26/3/2021) lalu.

Sementara Kabid Pasar Dinas Perdagangan Kabupaten OKI, Taufik mengungkapkan terkait data pihak UPTB Pasar yang lebih paham.

“Mereka yang memiliki data lengkapnya, atau kalau mau pasti lagi silahkan temui Kepala Dinas langsung,” ucapnya.

Ditempat berbeda, ketua LSM FOMPRASS.(Forum Peduli rakyat Sumatera selatan), SR Lubis menilai, jawaban dari para pemangku kepentingan tersebut justru menunjukkan bahwa ada hal yang disembunyikan terkait dengan penerimaan retribusi pasar.

“Retribusi di pasar, baik dari lapak maupun pedagang adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), bila dikelola secara benar tentu akan menambah pemasukan ke kas daerah, namun bila data saja tidak bisa mereka berikan boleh jadi ada hal yang disembunyikan terkait penerimaan retribusi tersebut,” paparnya.

Menurut Lubis, retribusi pasar sangat rawan bocor, terlebih lagi bila pengelolaannya masih dengan cara konvensional. Bisa jadi, pedagang yang membayar retribusi tidak menerima karcis sama sekali. Itu sangat mungkin terjadi bila pengelolaan retribusi ini masih menerapkan cara manual.

“Belum lagi lapaknya, terkadang nilai lapak di posisi strategis itu, pedagang perlu mengeluarkan biaya besar agar bisa menempati lokasi tersebut. Akibatnya lapak di lokasi lain akan sepi dan cenderung jadi lapak mati yang ujungnya pemasukan daerah melalui retribusi lagi-lagi akan hilang,” terangnya.

Kecurigaan terjadi kebocoran juga lantaran transaksi penerimaan retribusi daerah yang selama ini dilakukan manual.

“Harusnya disetor di bank dan tidak bisa lebih dari 24 jam. Ini yang terjadi ditampung berhari hari di bendahara penerimaan OPD pengelola retribusi, disini titik rawannya,” ujar Lubis.

Terakhir, Lubis berharap investigasi ini harus dilanjutkan ke tahap selanjutnya guna memastikan adanya kebocoran penerimaan daerah dan terlacak siapa saja yang bermain di belakangnya.

“Kejar terus ke OPD terkait hingga ke DPRD, jika ditemukan kejanggalan segera laporkan saja ke aparat penegak hukum,” pungkasnya.

(den/rht)

Komentar