Mabesbharindo.com
Tujuh tahun berlalu sejak Herdi alias Acuan (45) ditembak mati di dekat rumahnya di Jalan Jalambar Aladin, Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun hingga kini, kasus ini tetap menyisakan misteri besar—bukan hanya soal dalang dan motif pembunuhan, tetapi juga dugaan manipulasi dalam proses hukum yang terkesan tak tuntas.
Motif Bisnis Solar Berdarah
Dari informasi yang dihimpun, pembunuhan ini diduga dilatarbelakangi oleh persaingan panas dalam bisnis jual beli solar. Herdi diketahui menjalankan usaha tersebut bersama AX alias Handoko. Persaingan yang memanas inilah yang disebut-sebut memicu rencana pembunuhan.
Pada Agustus 2018, AKBP Ade Ary—saat itu menjabat Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya—mengungkap bahwa Handoko menyusun rencana eksekusi selama dua bulan. Ia menjanjikan imbalan Rp400 juta kepada para pelaku. Namun, hingga para eksekutor tertangkap, uang yang baru dibayarkan hanya Rp30 juta.
Pembunuhan itu dilakukan dengan rapi dan terstruktur. Pelaku dibagi dalam peran: eksekutor, pengemudi mobil dan motor, serta informan pelacak korban. Herdi tewas tertembak dalam eksekusi yang diduga melibatkan banyak pihak.
Keanehan Proses Hukum: Jonson Tak Pernah Muncul
Di balik proses pengadilan, muncul kejanggalan mencolok: nama Jonson, salah satu yang pertama ditangkap, tak pernah muncul sebagai terdakwa maupun saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Padahal, sejumlah informasi menyebut Jonson berada di mobil saat eksekusi berlangsung.
Salah satu saksi kunci, yang identitasnya dirahasiakan, menyatakan bahwa Jonson sempat ditahan beberapa bulan, lalu dibebaskan secara diam-diam dan tidak pernah dihadirkan di persidangan. “Jonson memang sempat ditahan, tapi keluar begitu saja. Saat sidang berlangsung, namanya bahkan tak pernah disebut,” ungkapnya.
Absennya Jonson dalam seluruh rangkaian sidang menjadi pertanyaan serius, mengingat perannya dalam pembuntutan diduga sangat signifikan. Fakta bahwa CCTV tak menangkap wajah Jonson dianggap bukan alasan cukup, karena banyak pengungkapan kasus lain justru menggunakan bukti tambahan berupa keterangan saksi dan penyidikan digital.
Sidang Penuh Kekecewaan
Sidang demi sidang diwarnai penundaan berulang. Majelis hakim yang diketuai Dodong Iman Rusdani, dengan anggota Sutejo Bomantoro dan Chris Fajar Sosiawan, sempat menjadwalkan sidang lanjutan pada 15 Januari 2019. Namun, keluarga korban kembali kecewa. Nama Jonson tidak muncul. Beberapa saksi juga tidak hadir tanpa alasan jelas.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Nugraha hanya menghadirkan dua terdakwa utama: Handoko dan Sunandar. Keduanya dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Namun publik melihat ada sesuatu yang tak beres. Bagaimana mungkin seseorang yang disebut-sebut ikut dalam mobil eksekusi tidak pernah diproses hukum?
Tersangka Lain Ditangkap, Tapi Tak Semua Ditahan
Polres Metro Jakarta Utara bersama Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya kemudian menangkap empat orang lain: AS (41), J (36), PWT (32), dan SM (41). Tapi dua di antaranya tidak ditahan karena bukti CCTV dianggap tidak cukup kuat.
Padahal, saksi dan informasi lapangan menyebut keempatnya memiliki keterlibatan aktif. Ini menambah panjang daftar kejanggalan dalam kasus Herdi.
Yang paling mencolok tetap soal Jonson. Dalam banyak kasus pembunuhan berencana, semua pihak—dari eksekutor hingga informan—umumnya dikenai sanksi berat. Namun dalam kasus Herdi, Jonson seolah ‘dihilangkan’ dari proses hukum.
Sampai berita ini diturunkan, Polda Metro Jaya belum memberikan klarifikasi resmi tentang status Jonson. Tidak ada penjelasan mengapa ia tidak pernah dihadirkan sebagai saksi atau terdakwa.
Publik menanti, keluarga korban menuntut. Kasus ini bukan hanya soal siapa menembak siapa, tapi tentang bagaimana hukum bisa kehilangan arah saat nama-nama tertentu dianggap tak tersentuh.
(Tim Red)
Komentar