DPR RI : Alihkan Subsidi Pupuk Menjadi Subsidi Harga

Ekonomi & Bisnis372 Dilihat

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin.


JAKARTA l MABESBHARINDO,Com`— Subsidi pupuk yang nilainya cukup besar kerap menimbulkan pro dan kontra. Untuk Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin meminta pemerintah mengkajian ulang, bahkan mengusulkan untuk mengalihkan subsidi pupuk menjadi subsidi harga.

Menurutnya, subsidi pupuk sudah dimulai sejak rezim Orde Baru, ketika Presiden Soeharto memutuskan subsidi pupuk dengan tujuan swasembada pangan. Tujuan ini tercapai tahun 1984, dan beberapa tahun kemudian hingga Indonesia bebas dari ketergantungan impor pangan pokok.

“Tapi setelah itu, mulai dari Presiden Soeharto diakhir jabatannya, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY hingga Jokowi, subsidi pupuk tetap berjalan, tapi tujuannya tak pernah tercapai hingga saat ini. Sudah saatnya mengkaji ulang, untuk ada alternatif mengalihkan subsidi pupuk menjadi subsidi Harga,” kata Akmal dalam keterangan persnya dikutip dalam laman DPR.go.Id.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyampaikan, memang dalam mengalihkan sebuah kebijakan mesti ada kajian mendalam yang melibatkan banyak pakar baik akademisi maupun praktisi. Di luar Negeri sudah banyak negara seperti Amerika, dan beberapa negara Eropa yang memilih subsidi di output daripada di-input.

Untuk itu legislator asal Sulawesi Selatan II ini mendorong agar pemerintah pemerintah mulai mengkaji penerapan  mengalihkan alokasi subsidi sektor pertanian dari yang mulanya berbasis input menjadi subsidi output. Hal ini guna menekan risiko anjloknya harga produk pertanian pada masa panen yang bisa merugikan petani.

“Ini bisa saja diuji pada satu wilayah kabupaten sentra penghasil produk pertanian, sehingga risiko yang ditimbulkan bila meleset tidak terlalu besar,” ujarnya.

Namun lanjut Akmal, jika terbukti makin mendorong peningkatan produk pertanian, menghilangkan dampak penyelewengan karena efektifitas anggaran subsidi yang tepat sasaran, maka kebijakan ini mesti dapat menjadi alternatif menggantikan subsidi pupuk yang angkanya selalu di atas angka anggaran Kementerian Pertanian itu sendiri.

Anggaran Kementan dan Subsidi Pupuk

Akmal mengungkapkan,  anggaran Kementan sejak tahun 2015 terus menurun, dari Rp32,72 triliun, di tahun 2016 menjadi Rp27,72 triliun. Tahun 2017 Rp24,23 triliun,  tahun 2018 Rp 23,90 triliun, tahun 2019 Rp21,71 triliun, tahun 2020 Rp 21,05 triliun dan tahun 2021 Rp15,51 triliun. Kkini pagu indikatif tahun 2022 hanya sebesar Rp14,51 triliun.

Terus turunnya anggaran Kementan, juga diikuti turunnya subsidi pupuk, meskipun angka subsidi pupuk terus lebih tinggi dari anggaran Kementan. Karena itu ia menyarankan, mesti ada solusi yang tepat agar gelontoran uang negara untuk pupuk subsidi lebih tepat dan tujuan utama tercapai yakni swasembada pangan.

Ia menilai, pupuk yang di produksi PIHC seperti sekarang sangat mahal. Sebab utamanya adalah dalam memproduksinya, sangat bergantung  pada gas sebagai bahan baku yang mahal. Padahal menurutnya, gas bukan barang yang ada terus dan akan habis.

“Sampai saat ini, PIHC belum mampu menjawab tantangan ini, sehingga anggaran pupuk subsidi yang di alokasikan dari APBN puuhan triliun tiap tahun hanya menjawab kebutuhan 34 persen petani seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Akmal menuturkan, setiap berkunjung di daerah pemilihannya, Sulsel,  petani selalu mengeluhkan bukannya tidak ada pupuk, tapi pupuk bersubsidi yang harganya terjangkau tidak ada. “Sudah puluhan tahun petani kita ini tidak mampu berkompetisi secara global karena subsidi input yang sulit dikendalikan ketika sudah menyangkut distribusi,” ujarnya.

Akmal  yakni, subsidi harga atau output justru akan meningkatkan daya kompetisi petani. Petani akan terpacu pada jumlah produksi yang baik dengan mutu yang baik. Apalagi jaminan pasar dan harga yang sesuai akan dikondisikan pemerintah dengan alokasi subsidi harga. “Ini selain sangat tepat pemberian subsidinya, juga sangat efisien untuk mengurangi penyimpangan,” tegasnya.

(Red)

Komentar