HKTI : Prinsip Pendistribusian Pupuk Harusnya Berprinsip 8T bukan 6T

Ekonomi & Bisnis352 Dilihat

Foto Ilustrasi Pupuk Bersubsidi.


JAKARTA l MABESBHARINDO,Com  — Ada satu kata yang kerap diungkapkan dalam distribusi dan penyaluran pupuk subsidi yakni 6T ( Tepat Jenis, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat Tempat, Tepat Waktu dan Tepat Mutu ) Namun fakta di lapangan justru petani kerap mengeluhkan kelangkaan pupuk.

Karena itu, Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sadar Subagyo mengusulkan agar prinsip 6T dalam penyaluran ditambahkan 2T yakni Tepat Penerima dan Tepat Pengguna, sehingga menjadi 8T. “Subsidi itu jangan hanya 6 T, tapi tepat penerima dan tepat penggunaan. Jadi yang menerima itu fokus kepada yang membutuhkan, petani jagung dan padi,” katanya FGD Kebijakan Pupuk yang Berpihak ke Petani yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani, Rabu (4/8/21).

Sadar memberikan contoh suksesnya penyaluran pupuk subsidi pada petani tebu. Pupuk didistribusikan langsung dari pabrik ke petani melalui koperasi tani sesuai dengan komoditas. “Distribusikan pupuk langsung dari pabrik ke petani melalui koperasi tani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat,” katanya.

Belajar dari kasus tersebut, Sadar mengatakan, pemerintah bisa mencontoh mekanisme penyaluran tersebut sesuai komoditasnya. Jika komoditas padi, maka didistribusikan melalui koperasi di bawah KTNA (Kontak Tani Nalayan Andalan).

Sadar mengatakan, pemerintah memang mengatur mengelola pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk subsidi. Bahkan telah dilaksanakan dan diawasi pemerintah. Namun keluhan terkait dengan permasalahan penyaluran pupuk bersubsidi masih saja terjadi.

Perbaiki Data Petani

Hal itu menurut Sadar karena data petani yang berhak mendapat pupuk bersubsidi masih belum akurat dan ada kesimpang-siuran data petani. Untuk itu ia meminta kepada pemangku kepentingan untuk melakukan pendataan secara akurat, agar pada akhirnya nanti data tersebut bisa disandingkan dengan data yang dimiliki Kementerian Pertanian. “Apakah subsidi pupuk selama ini berpihak ke petani…? Mari kita lihat,” tegasnya.

Sadar mengatakan, data menunjukkan penambahan subsidi pupuk tidak berdampak siginifikan dalam peningkatan produksi. Misalnya tahun 2018 subsidi pupuk mencapai Rp 33,6 triliun, produksi padi sebanyak 56,5 juta ton gabah kering giling (GKG), kemudian tahun 2019 subsidi naik menjaci Rp 37,1 triliun dengan produksi 54,6 juta ton GKG. Sedangkan tahun 2020 subsidi diturunkan menjadi Rp 26,6 triliun dengan produksi 55,2 juta ton GKG.

“Jika kita kaji dari tahun 2006 sampai 2020, tidak ada korelasi subsidi dengan produksi padi kita.  Misalnya, pada tahun 2006 sebanyak Rp 3,2 triliun, dan naik terus. Puncaknya pada tahun 2019. Ada yang menarik pada tahun politik subsidi naik,” tuturnya. Dari data tersebut Sadar menilai, ada masalah data yang patut dipertanyakan.

Hal lain yang menjadi sorotan Sadar adalah rekomendasi penggunaan pupuk majemuk. Menurutnya, dengan kondisi lahan pertanian yang keasamannya sudah tinggi, sebaiknya pemerintah menganjurkan petani menggunakan pupuk tunggal.

Hitungannya, pengeluaran petani menggunakan pupuk majemuk memang lebih murah hanya Rp 1.023.750 per ha. Namun disisi lain, subsidi yang pemerintah keluarkan lebih besar. Jika pupuk tunggal yang digunakan, maka subsidi pupuk tunggal hanya Rp 1.330.000 per ha,  tapi subsidi pupuk majemuk subsidinya mencapai Rp 2.126.000 per ha.

“Ada pemborosan disini sebanyak Rp. 796.000 per ha. Kalau luas areal panen 11 juta ha, maka pemborosan formulasi pupuk ini sebanyak Rp 8,76 triliun. Ini  pemborosan yang luar biasa,” tegasnya. Bagi petani, lanjut Sadar, aplikasi pupuk tunggal lebih mudah dibandingkan pupuk majemuk. Sebab penggunaannya akan menyesuaikan kondisi tanaman dan lahan.

Untuk penggunaan pupuk organik, Sadar juga mengusulkan lebih baik diserahkan langsung ke petani atau kelompok tani/gabungan kelompok tani. Karena membuat pupuk organik bisa langsung dilakukan petani dengan bahan baku dari lokasi tempat tinggal petani. Ini akan lebih bermafaat,” pungkasnya.

(Red)

Komentar