Mabesbharindo.com
Jakarta – Dugaan praktik ketidakadilan dalam penegakan hukum kembali mencuat. Laporan Polisi (LP) yang diajukan Suhari terhadap Budi dalam kasus pencemaran nama baik terkesan jalan di tempat selama enam tahun terakhir.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius dari masyarakat mengenai integritas dan independensi institusi penegak hukum. Dugaan bahwa ada “kekuatan besar” atau oknum yang membekingi Budi mulai merebak, seiring lambannya penanganan laporan tersebut.
“Ini sudah enam tahun. Sampai kapan saya harus menunggu keadilan ditegakkan?” kata Suhari saat ditemui awak media, Selasa (24/6/2025), di Jakarta Utara.
Suhari mengaku telah menyerahkan bukti lengkap, termasuk rekaman suara, keterangan saksi, dan dokumen pendukung lainnya, namun kasusnya seolah menguap tanpa kepastian.
“Atau jangan-jangan memang ada kekuatan gelap di balik ini semua?” tambahnya dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, Aroma ketidakadilan makin kuat ketika muncul fakta bahwa laporan Budi terhadap Suhari, dengan nomor LP/B/4994/IX/2018 tertanggal 18 September 2018, diproses secara cepat oleh kepolisian. Berbeda dengan laporan Suhari yang dibuat hanya berselang 11 hari setelahnya, namun hingga kini belum bergerak.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan publik: Ada apa di balik ketimpangan ini? Mengapa satu laporan diproses cepat, sementara laporan lainnya seperti dipeti-eskan?
Menanggapi hal ini, pakar hukum pidana Hendra Karianga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan setiap warga negara seharusnya memiliki kedudukan yang setara di depan hukum.
“Tidak boleh ada perlakuan berbeda karena pelapor memiliki kekuasaan atau pengaruh tertentu. Hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa pandang bulu,” ujar Hendra.
Ia menekankan pentingnya prinsip equality before the law sebagai pilar utama negara hukum. Jika laporan dari masyarakat kecil dibiarkan tanpa proses, maka kepercayaan terhadap institusi penegak hukum akan runtuh.
“Kalau aparat hukum tidak netral dan cenderung diskriminatif, maka itu adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi dan nilai-nilai Pancasila,” sambungnya.
Hendra juga mendorong agar laporan masyarakat yang mandek di tingkat Polda bisa dilaporkan ke Mabes Polri atau bahkan Presiden RI jika perlu, demi menjaga integritas penegakan hukum.
Sementara desakan untuk membuka kembali dan mengusut laporan Suhari juga datang dari Camelia Panduwinata Lubis, Sekretaris Jenderal Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA). Ia mendesak Divisi Propam Mabes Polri untuk mengaudit penanganan kasus ini sejak awal dan memeriksa seluruh penyidik yang terlibat.
“Jika kasus ini terus ditutup-tutupi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada polisi. Presiden Prabowo harus turun tangan memastikan tidak ada praktik beking dan kriminalisasi terhadap rakyat kecil,” tegas Camelia.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Polda Metro Jaya belum memberikan klarifikasi resmi terkait lambannya penanganan laporan Suhari. Tim media yang mencoba mengkonfirmasi hanya menerima jawaban normatif dari Humas Polda.
(Red)
Komentar