Ketua BPKN – RI Rizal E. Halim.
TABLOID MABESBHARINDO * JAKARTA – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI mengungkapkan telah terjadi kekeliruan penafsiran mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 terkait penyitaan unit kendaraan jaminan fidusia. Lembaga atau perusahaan pembiayaan menafsirkan seakan-akan boleh menarik atau menyita kendaraan tanpa perlu adanya ketetapan Pengadilan Negeri.
Kekeliruan ini, dalam pandangan BPKN, tak lepas dari informasi yang disajikan media terkait putusan MK tersebut. Media hanya mengutip beberapa poin yang dianggap penting. Akibatnya, muncul penafsiran, misalnya ketetapan PN hanyalah prosedur alternatif. Selain itu, unsur adanya persetujuan atau penyerahan sukarela dari debitur diabaikan.
Ketua BPKN-RI Rizal E Halim menyampaikan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia memang merupakan alternatif pilihan, sepanjang Debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda sebagai objek dari jaminan fidusia.
“Artinya, apabila tidak ada kesepakatan mengenai cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda sebagai objek dari jaminan fidusia, Kreditur wajib melaksanakan
eksekusi jaminan fidusia melalui penetapan PN, “ jelas Rizal dalam Siaran Pers BPKN, Minggu (27/9/2021).
- BACA JUGA : BLK Madiun Buka Pelatihan Mobile Training
- BACA JUGA : Pohon Pule dan Tebubuya Mulai Ditanam, Jalan Pangestu Bakal Semakin Cantik
Rizal menguraikan, putusan MK sebenarnya sejalan dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan kepada debt collector atau penagih utang perusahaan pembiayaan untuk mengikuti sejumlah ketentuan dalam proses penagihan kepada konsumen. Ketentuan dimaksud, seperti membawa dokumen-dokumen yaitu kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.
Putusan MK juga, menurut Rizal, selaras dengan kebijakan pemerintah yang mendorong relaksasi pembayaran kredit. Oleh sebab itu, dia berharap misinterpretasi yang terjadi di lingkup perusahaan pembiayaan maupun publik atas Putusan MK tersebut bisa diluruskan. Pasalnya, kekeliruan yang muncul bisa berdampak pada timbulnya keributan.
Ketentuan bagi Debt Collector
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Firman Turmantara menandaskan, perusahaan pembiayaan wajib mengirim surat peringatan terlebih dahulu kepada konsumen terkait kondisi kolektabilitas yang sudah macet. Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan. Penagihan juga mestinya dilakukan dengan menghindari tekanan-tekanan bersifat fisik
atau verbal.
Ditambahkannya, ketentuan lain, penagih harus memperlihatkan perjanjian antara perusahaan debt collector dengan Lembaga Pembiayaan dan dalam eksekusinya harus didampingi petugas kepolisian sesuai Perkap Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Eksekusi kendaraan/unit jaminan fidusia.
Menurut Firman, selama ini banyak kasus penarikan langsung barang leasing melalui pihak ketiga seperti debt collector atau penagih utang. Cara penarikannya pun seringkali dilakukan sewenang-wenang. Misalnya, debt collector melakukan langsung kepada konsumen di mana pun, kapan pun, seperti banyak kasus
yang terjadi selama ini.
“BPKN-RI menilai Ketentuan MK ini sudah tepat, yakni demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara pihak leasing dengan konsumen serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Oleh karena itu, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi itu harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap,” tutup Firman.
Red : Sumber : BPKN – RI
Komentar