Penyakit Klasik Dibalik Lambannya Serapan Anggaran Daerah

Uncategorized72 Dilihat

   Mabes Bharindo. Com-OKI.Hingga akhir September 2021 lalu, realisasi penyerapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Ogan Komering Ilir (OKI) 2021, baru sampai 50,92 persen. Sementara di sisi lain, APBD OKI defisit nyaris senilai Rp 20 miliar.

“Salah satu kunci pemulihan ekonomi ini adalah belanja pemerintah. Pemda harus mempercepat proses serapan anggaran yang ada,” ungkap Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Sumatra Selatan (Kanwil DJPb Sumsel), Lyidia Kurniawati Christyana, Selasa (2/11/2021) lalu.

Menurut Lyidia, penyerapan anggaran akan berdampak pada meningkatnya transaksi di masyarakat. Pihaknya mendorong pemda agar bisa segera merealisasikan belanja. Terutama untuk barang dan jasa.

“Bisa dikatakan masih banyak dana yang mengendap di kas daerah yang belum tersalurkan,” jelas dia.

Pihaknya juga mengingatkan pemerintah daerah agar segera merealisasikan anggaran secara cepat dan tepat, mengingat proses realisasi anggaran 2021 menyisakan dua bulan lagi.

“Perlu segera melakukan percepatan serapan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat,” tutur dia.

Dirinya mengingatkan pemerintah daerah di Sumsel agar tidak membiasakan diri melakukan tradisi untuk belanja di akhir tahun secara besar-besaran. Pasalnya, “penyakit” tahunan tersebut bisa membuat kondisi perekonomian daerah dapat mengalami inflasi di akhir tahun.

Lyidia mengatakan, belanja besar-besaran pemda di akhir tahun menyebabkan jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan. “Hal inilah yang bisa memicu inflasi. Pengaruhnya sangat besar,” ujar Lyidia.

Sementara Dosen Universitas Sumatera Selatan (USS), Agus Salim SE.,MM menilai sesuai ketentuan, idealnya, pada triwulan III tahun anggaran, realisasi serapan anggaran pendapatan dan belanja sudah harus mencapai 80 persen. Tapi nyatanya, realisasinya belum menyentuh angka 51 persen. Ini menunjukkan buruknya kinerja SKPD di Kabupaten OKI.

Agus Salim mengatakan ada tiga masalah dari pemda setiap tahunnya, yakni serapan anggaran yang rendah, belanja birokrasi yang lebih besar, dan proses laporan yang belum optimal. Dia mengkritik keras jika pemda belum bisa mengeluarkan anggarannya secara maksimal saat ini.

“Kalau terjadi tahun ini kebangetan. Kenapa? Karena SKB Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri itu minimal 35 persen APBD dipakai untuk realokasi anggaran dan refocusing program. Rinciannya, 50 persen dari belanja modal, belanja barang dan jasa, dan belanja aparatur,” ujarnya saat dihubungi awak media, Jum’at (12/11/2021).

Dengan demikian, minimal pemda sudah mengeluarkan 35 persen untuk belanja penanggulangan Covid-19. Jumlahnya bisa melebihi itu apabila ditambah dengan pengeluaran lain. Agus menyebut pada Agustus lalu minimal pengeluaran SKPD itu sudah 50 persen.

“Kalau belum sampai titik itu, problemnya bukan hanya daya serap yang lamban, tapi komitmen penanggulangan pandemi Covid-19 juga dipertanyakan,” ucapnya.

Agus Salim menuturkan memang ada masalah teknis ketika pegawai negeri sipil (PNS) ini bekerja dari rumah. Namun di OKI, akhir-akhir ini justru banyak yang melakukan perjalanan dinas dan belanja lapangan. Kemudian, rekanan dan pihak ketiga juga tidak bekerja optimal, banyak proyek yang progressnya juga masih dibawah 30 persen.

“Masalahnya ada pada birokrasi di lapangan yang masih menggunakan pola kerja dan mindset lama. Padahal APBD-P sudah di ketok palu tepat waktu, begitu juga dengan R-APBD Tahun 2022,” ungkapnya.(Deni-team.)

Komentar