PEMBIAYAAN DAN RESIKO DALAM KOOPTASI PANTAI BOOM BANYUWANGI

Daerah527 Dilihat

Pemerhati kebijakan publik dan pembangunan : Andi purnama.

MABES BHARINDO,Banyuwangi 5 April 2021-Didalam Peraturan Menteri Keuangan RI No.73 /PMK.08/2018 tentang Fasilitas untuk Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, tidak menutup kemungkinan bahwa Badan Usaha dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dengan Skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Badan usaha yang akan berkerja sama dengan Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten dapat menjadikan skema ini dalam melindungi kepentingan-kepentingan Negara dengan melindungi masyarakatnya dengan skema kerja sama “Value For Money” yang menguntungkan kedua belah pihak. Baik Pemerintah maupun Badan Usaha/Koorporasi yang menjalin ikatan kerja sama. Perhitungan Nilai Keuntungan dan Present Value dari Kerja Sama haruslah dipertimbangkan dalam skema yang saling manfaat dan berkelanjutan jangka panjang. Target kerja sama ke depan adalah memperolah keuntungan “Nilai” tersebut yang dapat mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar/luas.

Seperti halnya Keberadaan Bandara Banyuwangi, yang diusahakan pembangunannya melalui dan bersumber pada keuangan Negara APBN melalui APBD merupakan salah satu skema mandiri Pemda Banyuwangi, dapat mengelola dan mewujudkan Pelayanan Kebandarudaraan. Pembiayaan mulai dari perencanaan pelaksanaan pembangunan telah berhasil mewujudkan Pemda Banyuwangi mempunyai Lapangan Terbang (LAPTER) dengan segala upaya menjadikan dapat beroperasi. Sayangnya Opertor Bandara tersebut bukanlah secara mandiri diusahakan pengoperasiannya oleh Perusahaan Daerah, melainkan bekerja sama dengan pihak Badan Usaha sebagai Operator Kebandarudaraan. Skema kerja sama ini, dapat diartikan bahwa seluruh sumber daya APBD (dalam masa Bupati ke Bupati) dalam membangun LAPTER oleh Pemda Banyuwangi, berbagi dengan pihak Operator dalam Pengoperasian Bandara Banyuwangi. Terminologinya seperti kita membangun sebuah rumah Megah Mewah, kita sewakan menjadi “murah atau mahal” tergantung sepenuhnya oleh “agent” kepercayaan kita.

 

Skema Pembiayan dan Resiko, sebenarnya panduan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, dalam memperhitungkan Kelayakan yang menjadikan kita sepakat dengan pihak Badan Usaha yang akan bekerja sama dengan pihak Pemda Banyuwangi. Perhitungan tersebut dapat menjadikan sebagai posisi tawar dalam skema penyertaan perhitungan modal yang tertanam yang sama-sama dituangkan dalam pokok-pokok perjanjian bersama. Bisa saja aset kita (masyarakat) dihargai sangat murah murah, dan lemahnya posisi tawar, ditambah dengan “oknum” yang hanya mendapatkan keuntungan sesaat dengan mengorbankan kepentingan “masyarakat luas”. Posisi tawar menjadi murahnya Aset Negara dan Pemerintah “dijual kepada Korporasi/Badan Usaha, karena banyaknya “Broker” dalam, bahkan “penguasa” yang mendapatkan keuntungan pribadi dalam melepas aset-aset publik masyarakatnya. Kerja sama operasi yang dijalankannya hanya meraup keuntungan dengan skema yang tidak meninggikan “VALUE”, misalkan menarik jasa parkir, jasa hiburan, jasa tiket masuk, jasa pedagang kaki lima, dan Jasa tradisional Lainnya, yang pada akhirnya kerja sama operasi yang dilakukan dalam kegiatan “primitif” menjadikan kerja sama operasi yang diadakan dengan Pihak “Pemerintah dan Badan Usaha”. Sedangkan target marketnya masyarkat umum yang dipungut-pungut sebagai kegiatan yang dianggap menguntungkan oleh para pemangku dan pemikir yang berkepentingan.

Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha Besar, seharusnya memunculkan suatu investasi yang dapat memberikan income/penghasilan “besar” kepada masyarkatnya. Negara/Pemerintah Daerah merelakan Pantai Publiknya, Infrastrukturnya, Alam yang Indah, Wilayah/Daratannya. Tetapi kemudian yang diusahakan oleh Badan Usaha/Korporasi kerjasamanya, hanya memungut biaya “tiket masuk dan hiburan”. Sepertinya kalau skema kerja sama ini BUMDES aja sangat mampu. Penyertaan dalam skema Pemebiayan dan Resiko merupakan “POSISI TAWAR” sebagai Pemerintahan Daerah dalam membuat nilai yang justru memberikan “Banyak Uang” kepada rakyatnya, bukan yang malah memungut “uang-uang receh” dan menjadikan Masyarakat Banyuwangi sebagai “Target Market” dalam menikmati pantai dan alam yang merupakan TATA RUANG milik Publik tersebut (Pantai Pesisir dan Pulau Pulau Kecil) yang seharusnya bebas merdeka menikmatinya, seperti menikmati “ALUN-ALUN BLAMBANGAN atau SRITANJUNG (yang bisa saja di KOOPTASI) oleh pihak Badan Usaha/Koorporasi yang kemudian hari bisa saja akan diberikan hak Kelola kepada Badan Usaha/Korporasi oleh “Pemimpin-Pemimpin Kita”.

Skema kerja sama yang hanya pada tataran operasi “tradisional dan Primitif” merupakan kerja sama yang tidak memiliki keuntungan bagi masyarakat luas, penarikan tiket masuk dan pungutan hiburan merupakan skema operasi yang tidak meninggikan “Valu For Money” bagi ekonomi dan kesejahteraan pada masyarakatnya. Skema pungutan-pungutan merupakan tanda bukti ketidakberhasilan dalam skema Bisnis Pelayanan yang “Besar dan Modern”, dimana aspek peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi perubahan yang Dominan selain sistem dan alih teknologi, perubahan peradaban yang bisa di UPSCALING (Meninggikan Kwalitas Manusia). Bila skema operasinya hanya seperti sekarang, akan masih jauh menguntungkan dan memberikan rasa yang sangat membahagiakan jika Pantai Pesisir Publik dan Prasarana Publik Pantai BOOM dinikmati “bebas merdeka” oleh masyarkat Banyuwangi. Pantai yang dapat menjadikan Bangga Menjadi “Masyarakat BAHARI” masyarakat yang leluasa mendapatkan “INSPIRASI” yang sangat “mahal pemikiran dengan karya OTENTIK” ketika pemuda/generasi penerus kita, dapat mudah memasuki Wilayah Pantai dan Pesisir BOOM tanpa pungutan-pungutan seperti jaman Bupati-Bupati Banyuwangi sebelumnya bahkan nenek moyang kita sekalipun.

(Tim wartawan)

 

Komentar