Mabesbharindo.com
Jakarta – Kasus dugaan kriminalisasi terhadap Suhari alias Aoh terus jadi sorotan ke publik setelah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merespons surat permohonan perlindungan hukum dari Lembaga Masyarakat Sadar Penegakan Hukum Indonesia MSPI Thompson Gultom. Ia menilai penetapan tersangka terhadap Suhari oleh Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya cacat prosedur dan tidak berdasar bukti kuat.
Suhari ditetapkan sebagai tersangka atas laporan Budi yang menuduhnya telah menyebarkan pornografi dan melakukan pencemaran nama baik. Penetapan itu didasarkan pada Laporan Polisi Nomor: LP/B/4994/IX/2018, tanggal 18 September 2018, yang ditangani oleh Unit II Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Tuduhan tersebut dikenakan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan (3) juncto Pasal 45 ayat (1) dan (3) UU ITE serta Pasal 29 jo Pasal 4 UU Pornografi.
Namun, menurut Direktur MSPI, Thomson Gultom penetapan tersebut mengandung unsur kriminalisasi. “Kami menerima surat dari Kompolnas yang meminta dokumen pendukung atas dugaan kriminalisasi terhadap Suhari. Kami sedang siapkan seluruh bukti untuk diserahkan,” ujarnya, diterbitkan media ini Kamis, (25/6/2025).
Thomson menyebut, Suhari ditahan secara brutal selama enam hari di Rutan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya sejak 2 hingga 8 November 2018, tanpa pemanggilan ahli ITE atau pendapat ahli pidana sebagaimana mestinya dalam kasus penyebaran konten digital. Padahal kata dia Suhari masih berada dalam program perlindungan saksi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Herdi Sibolga alias Acuan.
“Setelah LPSK mengirim surat resmi ke Kapolda, tiba-tiba penyidik melepaskan Suhari pada tengah malam 7 November. Anehnya, tak ada penjelasan. Suhari bahkan menolak keluar karena curiga atas keselamatannya,” terang Thomson.
Surat LPSK tersebut bernomor R-102/3.4/HMKS/LPSK/11/2018, yang meminta agar Suhari dilindungi dari potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat. Setelah dibebaskan, Suhari hanya diwajibkan lapor dan proses hukum tidak berjalan hingga awal 2025.
Kejutan terjadi saat Suhari menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan Nomor: B/8257/V/RES.2.5./2025/Ditreskrimsus tertanggal 22 Mei 2025, yang dikirim oleh Dirreskrimsus Polda Metro Jaya ke Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Surat itu menghidupkan kembali laporan yang telah mandek hampir tujuh tahun.
“Ada apa ini? Dulu ditahan brutal, dilepaskan tanpa penjelasan, sekarang dilanjutkan lagi? Siapa sebenarnya Budi sampai bisa mengatur-atur penyidik?” tanya Thomson, menyiratkan dugaan adanya kekuatan besar di balik laporan tersebut.
Menanggapi SPDP itu, MSPI sebelumnya sudah mengajukan surat perlindungan hukum kepada Kajati DKI Jakarta melalui surat Nomor: 020/Perlindungan Hukum/MSPI/IV/2025 tertanggal 2 Juni 2025. MSPI mendesak agar Kajati meneliti ulang unsur pidana dalam penetapan tersangka Suhari.
Menurut Thomson, laporan Budi terhadap Suhari memiliki motif yang mencurigakan. Mereka menduga Budi berusaha menghalangi proses penyelidikan kasus pembunuhan berencana terhadap Herdi Sibolga. Pelaku utama pembunuhan, Ahmad Sunandar alias Nandar dan Handoko alias Alex, telah divonis penjara seumur hidup.
“Suhari adalah saksi penting. Diduga, Budi mencoba menjebloskannya ke penjara agar tidak bisa bersaksi. Ini bukan laporan pertama dari Budi. Sebelumnya, dia juga melaporkan Suhari di kasus lain, tapi dihentikan karena tak cukup bukti. Ironisnya, penyidik tidak pernah mengeluarkan SP3 atas laporan itu,” beber Thomson.
Tak cukup sampai di situ, MSPI juga meminta Komisi III DPR RI turun tangan dan mendesak Kapolri agar aparat penyidik bekerja profesional dan tidak hanya bertindak atas tekanan pihak tertentu. Surat resmi pengaduan telah dikirim untuk meminta pengawasan langsung dari lembaga legislatif tersebut.
“Kami tidak ingin kasus ini menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Polisi harus independen dan obyektif, bukan alat permainan kekuasaan,” pungkas Thomson
(Red)
Komentar