MABES BHARINDO,Banyuwangi-28 Maret 2021-Pemerhati Kebijakan Publik dan Pembangunan: Andi Purnama
Buku Catatan Tanah di Desa, atau yang lebih dikenal dengan “BUKU C DESA/LETTER C” dan “KERAWANGAN” yang saat ini menjadi buku yang dipertahankan keberadaan di Desa maupun Kelurahan, banyak yang merupakan buku C dan Kerawangan dengan “Klangsiran Baru”, bisa dikatakan buku tersebut (Letter C dan Kerawangan) merupakan salinan buku lama (1936-1959) yang runtutan kepemilikannya dapat dikatakan tidak sesuai “Lompat Sejarah”, tetapi sayangnya buku-buku ini telah menjadi acuan di desa-desa, dalam menerbitkan keterangan “Kepemilikan dan Penguasaan” untuk diterbitkannya pemberian “Surat Hak” (Surat Sertifikat dari Badan Pertanahan di Kabupaten). Padahal nama yang tercantum pada Buku C Desa dan Kerawangan Desa, data dari kepemilikan dan perbidangan tanahnya tidak “Landing” dan “Singkron” atas buku tanah sebelumnya (Acuan Pertama 1936-1960). Ketidakcocokan atas Bukti Nama Kepemilikan Awal, dan Letter B, Letter C maupun Perbidangan Peta Awal TNI (1954), tetap diterbitkan menjadi Surat Resmi Terbitnya HAK oleh Badan PERTANAHAN. dan menjadi Bola salju yang terus bergulir sampai sekarang.
“Pendaftaran Tanah” terhadap penguasaan bidang yang dimiliki seseorang, yang meskipun tidak memiliki bukti akurat atas suatu Alas Hak, maupun data lainya, dengan berbagai cara akan mencari jalan, sampai bagaimana dokumen yang diajukan pendaftaran tersebut, dapat tetap disetujui dan diterima sah menjadi produk hukum negara Berbentuk SERTIFIKAT HAK TANAH, padahal memperolehnya melalui “CARA MAFIA”. Perolehan Sertifikat Hak ini, bila pendaftaran pertamakalinya (KONVERSI) salah, akan menjadi terus bergulir kepada orang lain. Padahal proses pertama kalinya sebagai proses konversi, dilakukan secara sistem dan terstruktur baik oleh Pemerintahan Daerah (Desa dan Kecamatan) dan Badan Pertanahan, meniliti secara cermat dan akurat. Baik Dokumen maupun “Acuan Bidang Awal” yang sebenarnya. Sayangnya di Badan ini (BPN ATR) masih banyaknya “Oknum-Oknum” yang bermain “Pat Gulipat”, Harusnya di REFORMASI TOTAL Badan ini.
Badan Petananahan di tingkat Kabupaten, yang mempunyai “PETA Perbidangan Acuan/DASAR 1960) seharusnya menjadikan pola dasar yang tersistematis sebagai KESINAMBUNGAN dan KEMUTAKHIRAN DATA), tidak melanggar dari perbidangan yang telah ada, dan menggunakan berpidangan DATA PERPAJAKAN yang telah terfalidasi di tahun 1960). Peta LETTER C Desa dan KERAWANgan DESA terbitan tahun 80-an, banyak DATA yang telah diubah “LONCAT SEJARAH” oleh oknum-oknum, mulai perangkat Desa, Pejabat Daerah dan Pertanahan Kabupaten dan sayangnya buku ini masih dijadikan ACUAN dalam memberikan setiap Kepala DESA maupun Badan Pertanahan untuk menyetujui Permohonan/pendaftaran Hak. Paradigma yang terjadi. Bila data yang tersusun sebagai Dokumen Pendaftaran telah disahkan dan ditandatangani oleh Sekdes dan Kepala Desa, Sertifikat itu dapat diterbitkan. Dalam hal ini Desa akan tersudut dalam dokumen yang salah, padahal PETA DASAR, PETA PAJAK AWAL semua BPN ATR/Pertanahan Kabupaten yang mempunyai data-data ini.
Peta Letter C dan Kerawangan Desa yang ada sekarang, perubahan yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan-perubahan, diantaranya : Perubahan Nomor Persil, Perubahan Nomor Petok, Perubahan Nama Pemilik Awal, dan juga Perubahan Bidang Awal. Hal ini dilakukan, supaya pemilik yang sebenarnya/ahli waris yang SAH dalam hal menelusiri sejarah pencocokan penomeran bidang, nama sebenarnya, luasan yang sebenarnya mengalami kegagalan dan ketidaksamaan. Demikian juga bila kita mencoba untuk membuka DATA PUBLIK yang ada di Badan Pertanahan, akan dikaburkan agai DATA PUBLIK, kita hanya mempunnyai berkas salinan sebagai buku Sertifikat, data fisik dan yuridis tersimpan di Badan Pertanahan di setiap Kabupaten. DATA publik yang tersimpan seolah enggan dan seolah berpihak pada pelaku bagian dari mafia yang melibatkan pejabat pertanhan maupun krooni jaringanny, kepentingan yang tertutupi sampai sekarang, pejabat yang sekarang tidak mau dibongkar mafia-mafia tanah di lingkungan Badan ini, pelayanan yang seolah telah menjadi tirani, dengan menutup hak akses menuntut kebenaran dan keadilan.
Hal yang sangat mudah, menyelesaikan MAFIA PERTANAHAN apalagi pada tingkatan Pertanahan yang ada di KABUPATEN, pembukaan DATA PUBLIK yang dititipkan pada Badan ini, diubah menjadi Palayanan PUBLIK yang TERBUKA, bukan para PEJABAT yang di DOKTRIN untuk menutup-nutupi INFORMASI PUBLIK yang seolah-olah peraturan sektoral menutupi langkah mafia mereka, aturan sektoral mengalahkan KUHP. Mekanisme TATA KELOLA NEGARA yang seolah tidak tersentuh REFORMASI. Sistematika perbidangan tanah, seolah seperti benang kusut yang tidak pernah usai karena pejabat yang tidak professional dan terindikasi melawan hukum dan bagian dari mafia pertanahan. Tidak terbukanya pelayanan publik pertanahan, pejabat Pertanahan Kabupaten tidak mumpuni dalam SDMnya masih terus terpelihara. Dalam perubahan reformasi pelayanan masyarakat, diperlukan Reformasi “Tangan Besi” yang memaksa Badan Ini, lebih aktif dan reformis menghilangkan unsur dan pelaku mafia, melayani Masyarakat dengan lebih baik. Bukan seolah menjadi bagian dari MAFIA TANAH dengan terus menerus mempertahankan predikatnya. (Tim)
Komentar