Ketua Aktivis Sesalkan Tindakan Represif Oknum Kepolisian di Banyuwangi

TNI & Polri283 Dilihat

 

Mabesbharindo.com BANYUWANGI- Eko Wijiono, Ketua Gerakan Aktivis Indonesia Bersatu (GAIB) Banyuwangi menyayangkan perlakuan represif sejumlah oknum kepolisian di lingkungan Polresta Banyuwangi.

Hal itu disampaikan Eko menanggapi adaya video viral wanita berparas cantik menangis histeris di depan ruang Pidsus Polresta Banyuwangi, Kamis (6/5/2021) kemarin.

Dalam video yang beredar, wanita berparas cantik bernama Haninah (22) warga Tamanbaru, Kecamatan Banyuwangi itu, mengaku diberhentikan secara paksa oleh dua orang yang mengaku aparat kepolisian dengan berpakaian preman.

Haninah pada saat itu bersama seorang temannya dihadang dan digiring ke Polresta Banyuwangi dengan alasan adanya pengaduan plat nomor palsu. Sedangkan saat dilakukan pemeriksaan, surat-surat kendaraan semuanya asli.

“Selaku aktivis saya merasa sangat prihatin atas peristiwa seperti apa yang ada di video viral kemarin yang beredar, dan pemberitaan beberapa media yang saya amati,” kata Eko saat memberikan keterangan, Sabtu (8/5/2021).

Dari peristiwa yang dialami korban tersebut, Eko mempertanyakan terkait tata laksana penanganan sebuah perkara hukum yang dilakukan oleh institusi kepolisian.

“Sepintas yang saya pelajari, diduga pengadu itu tidak memiliki legal standing. Legal standing ini dibutuhkan untuk memenuhi syarat formil dan material dalam sebuah bentuk pelaporan masyarakat,” kata Eko.

Dia mencontohkan, pelaporan dari masyarakat bisa menunjukkan bukti kuat kepemilikan kendaraan bermotor, berupa STNK dan BPKB sangat mutlak diperlukan.

Sedangkan diketahui, korban atas nama Haninah sudah menunjukkan bukti adanya BPKB kepemilikan, jika mobil HRV warna putih yang sempat dihadang waktu itu, adalah miliknya. Bahkan dia juga memiliki faktur pembelian mobil.

Oleh karenanya, Eko mempertanyaan dasar penyidik maupun penyelidik dalam melakukan penindakan perkara. Ia menduga ada kesalahan prosedur yang dilakukan.

“Jadi seperti yang saya ketahui, dasar penyidik ataupun penyelidik dalam menangani sebuah pengaduan itu, kelengkapan legal standing mutlak diperlukan. Salah satunya pelapor harus menunjukkan bukti kepemilikan kendaraan bermotor berupa BPKB,” papar Eko.

Berbicara terkait hukum, menurut Eko, secara sederhana hukum itu menyangkut hak dan kewajiban. Manakala ada hak-hak masyarakat sebagai subjek hukum yang terlanggar, maka dia berhak mengajukan persoalan itu kepada bidang yang menangani.

“Saya sangat menyayangkan kalau memang itu terjadi kesalahan prosedur. Maka saya berharap sebagai masyarakat, profesionalisme polisi dalam penegakan hukum dituntut harus didasari SOP yang sesuai undang-undang,” cetusnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan, aparat penegak hukum juga diharapkan tidak subjektif dalam menangani persoalan. “Sehingga penanganan hukum di masyarakat betul betul mencerminkan rasa keadilan. Sebab di hadapan hukum itu sama, dijamin oleh negara,” imbuhnya.

Eko juga menanggapi adanya penyitaan STNK maupun plat nomor korban yang dilakukan bagian Propam Polresta Banyuwangi, tanpa diberikan surat tanda penerimaan (STP).

“Kalau sita saya belum tahu persis, tapi memang dalam aturannya, sita itu sudah masuk dalam acara pidana, ketentuannya ya harus administratif formil, berupa memberikan tanda terima,” kata Eko.

“Itu harus ada peranan aktif dari yang menyita yaitu pihak kepolisian diduga dalam hal ini. Karena masyarakat ini kan sebagai subjek hukumnya. Maka kewajiban merekalah untuk memberikan tanda terima berupa surat tanda penyitaan,” tandas Eko. (TIM)

Komentar