Diskusi Publik: Asosiasi Caffe Jakarta Selatan Tolak Bayar Royalti Musik, ini tindakan perbuatan melawan hukum

Nasional111 Dilihat

 

Mediamabesbharindo.com
Kota Bekasi – Owner Band Rock Lawang Pitu Asisi Basuki menggelar diskusi publik tentang royalti musik yang tengah hangat dibicarakan. Acara diskusi berlangsung di ACC Studio, Jl. Polu Sirih Bar. Raya, RT. 001 RW. 020, Jakarta Setia, Kota Bekasi, Minggu (09/03/2025). Diskusi ini menghadirkan para musikus ternama di tanah air seperti Once Mekel, musisi yang kini telah resmi dilantik sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.

Selain Once, hadir pula musisi dari Band Coklat gitaris legendaris Edwin Marshal Syarif kelahiran 19 Maret 1975, Palembang Sumatera Selatan, Trison Manurung, vokalis penuh talenta dari Band Rock Lawang Pitu dan Roxx, Mila Rosa Sekretaris PAPPRI, Johnny William Maukar dari PAPPRI Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia. PAPPRI merupakan organisasi profesi artis tertua yang memberikan apresiasi kepada musisi di Indonesia.

Selain itu hadir pula Adi Adrian Presiden Direktur Wahana Musik Indonesia (WAMI). Ia juga dikenal sebagai Adi Kla Project. Wahana Musik Indonesia (WAMI) adalah sebuah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Indonesia yang bertugas mengelola penggunaan Karya Cipta lagu/musik milik anggotanya, terutama untuk royalti atas Hak Pengumuman (Performing Rights). Entitas WAMI adalah Perkumpulan yang bersifat nirlaba.

Diskusi ini juga menghadirkan Dharma Oratmangun, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebuah lemabaga yang diberi kewenangan oleh negara untuk untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. LMKN juga bertugas untuk mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta.

LMKN berwenang Menarik dan menghimpun royalti penggunaan karya cipta lagu dan musik dari pengguna komersial, mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemegang hak, dan pemilik hak terkait, menyelenggarakan mediasi atas sengketa yang terjadi, menerbitkan izin lisensi atas sebuah karya, menindak siapa saja yang menggunakan karya milik orang lain tanpa izin, melakukan pengawasan terhadap LMK dan memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pengurus LMK.

LMKN dibentuk oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. LMKN merupakan lembaga bantu pemerintah non-APBN.

LMKN mengintegrasikan pengelolaan royalti pada pusat data lagu dan/atau musik dengan Sistem Informasi Lagu/Musik. Pusat data lagu/atau musik dikelola oleh DJKI.

Diskusi royalti musik ini juga mendatangkan Roberto Ketua Umum Ikatan Manager Artis Indonesia (Imarindo) untuk periode 2022-2027,

Selain dihadiri para musikus ternama dan para pimpinan organisasi LMK, LMKN dan organisasi Manager, diskusi ini juga menghadirkan Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Syamsi Hari dan Amin Abdullah Direktur Industri Kreatif Musik, Film, dan Animasi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Ia juga merupakan etnomusikolog, akademisi, komposer, dan musisi world music asal Palu, Sulawesi Tengah yang sangat vokal terkait hak – hak para musikus di tanah air.

Sekretaris PAPPRI, Mila Rosa artis dangdut yang sempat nge – hits dengan judul lagu “cubit – cubit sayang” merasa prihatin dengan adanya polemik di kalangan para pencipta lagu dan para penyanyi.

“Sejatinya polemik antara pencipta lagu dengan penyanyi tidak perlu terjadi jika semua tunduk pada regulasi yang sudah diatur oleh pemerintah yang tertuang dalam undang – undang no. 28 tahun 2014, penyanyi butuh pencipta begitu juga sebaliknya”, tutur Mila menjawab pertanyaan awak mesia dan moderator acara Budi Minggu 09/03/2025 di markas Band Lawang Pitu, Jl. Kebon Sirih, Galaxi, Kota Bekasi

Dengan nada penuh kesal Dharma Ketua LMKN menegaskan bahwa pihaknya sedang melakukan Litigasi, “kita sudah mempunyai head legal yang bekerja sama dengan LMK untuk menggugat para pengguna lagu (promotor even) di ruang publik (seminar, webinar dan caffe) secara komersil, karena kami sudah tempuh cara – cara non litigasi namun tidak berhasil alias tidak dianggap”, tegasnya.

“Tidak ada alasan bagi pengguna musik untuk tidak membayar royalti, karena sudah ada aplikasi untuk melakukan pembayaran atau mengetahui jumlah nominal yang harus dibayarkan kepada LMKN, hanya 2% kok tidak akan membuat bangkrut, mengapa tidak mau bayar ?, saya juga mengkritik asosiasi caffe di Jakarta Selatan yang menolak bayar royalti, ini adalah tindakan perbuatan melawan hukum”, tandas Dharma.

Adi Andrian menambahkan, di Brazil bisa mengumpulkan 2 triliun, uang royalti musik, Indonesia hanya 200 Miliar, luar negeri sudah ratusan tahun sedang Indonesia baru 20 tahunan melakukan kolek dana royalti kepada para pengguna lagu orang lain.

Uda Kadri musisi kawakan pelantun lagu berjudul “Karmila” yang saat ini berorifesi Pengacara ikut – ikutan geram terhadap para pengguna musik yang ogah bayar rolyalti, “mari kita bersatu agar para pengguna lagu promotor, EO dan Restoran bayar royalti jika menggunakan lagu – lagu karya orang lain, karena berdasarkan undang – undang no. 28 tahun 2014 pasal 9, 23 dan 87 yang berkewajiban membayar adalah penyelenggara even”, ucapnya.

“Sebenarnya masayarakat harus tahu bahwa Mekanikal right (merekam lagu orang untuk komersial) harus minta persetujuan kepada penciptanya dan harus bayar, ada juga performing right (memutar lagu orang lain di ruamg publik) harus izin melalui LMKN dan bayar kepada LMKN”, Imbuh Uda Kardi.

“Harusnya penyelenggara yang membayar royalti performing right bukan artisnya, inilah kesalahan dalam undang – undang terkait royalti music. Pasal 23 ayat 5, Orang per-orang atau badan hukum yang menggunakan karya cipta secara komersial dari suatu pertunjukan harus izin kecuali bayar melalui LMKN, sehingga lisensi itu keluar stelah dibayar. Maka solusinya adalah duduk bareng bersama para praktisi musik baik pencipta lagu, pemain musik dan penyanyi lagu”, harapnya.

Johnny William Maukar Wakil Ketua PAPPRI mengatakan, Direc lisensi diatur dalam pasal 9 terkait hak penyanyi dan pencipta lagu yang diurus oleh LMKN ini juga diatur dalam pp 56, hal ini mengatur tentang penyelenggaraan lagu dan harus bayar. pasal 23 tentang perlindungan pelaku pertunjukan dan subtansinya adalah bayar royalti LMKN. Sedangkan pada pasal 87 mengatur berbagai hal terkait hak cipta, seperti pengumuman, pendistribusian, dan penggandaan ciptaan.

Ia menyoroti kasus yang menjerat penyanyi bertalenta tinggi Agnez Mo yang dituntut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membayar denda royalti Rp: 1,5 Miliar karena melanggar UU hak cipta menggunakan secara komersial lagu ciptaan Ari.

“Menurut saya yang seharusnya membayar adalah penyelenggara bukan penyanyinya kenapa penyelenggara tidak melakukan pembayaran kepada LMKN ?, adapun Hakim menginterpretasikan lain itu kewenangan hakim, padahal seharusnya bukan Agnez yang harus membayar melainkan penyelenggara even tersebut”, tandasnya.

Sementara itu Once dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR – RI dalam diskusi ini menyampaikan, “Tujuan kita bernegara adalah tunduk kepada aturan atau hukum yang telah disepakati bersama, oleh karena itu mari kita selesaikan permasalahan ekosistem musik dengan kepala dingin, semua punya hak, pencipta dan penyanyi tidak perlu ribut semua pada posisi yang sama – sama harus dilindungi hak – haknya”, kata Once

“Dalam UU Hak Cipta ada hukum, ada sastra, ada drama namun ini semua masih dalam naskah akademik sebagai bahan draf undang – undang”, pungkas Once.

Diskusi semakin memanas saat Profesor Frengky mempertanyakan penyelenggara even – even pemerintah yang didalam RAB nya tidak mencantumkan pembayaran royakti, “Saya orang yang berada didunia akademik dan pencipta, diskusi ini sangat menarik dan berbobot, isu royalti ini sebenarnya apa ? masyarakat masih awam terkait iatilah royalti yang harus dikeluarkan ketika merekam dan menyelenggarakan sebuah lagu diranah publik untuk kepentingan komersial, maka disini dibutuhkan seorang akademisi yang mampu menerangkan kepada pemerintah dan negara tentang apa itu royalti performing right dan royalti makanikal right”, tuturnya.

“Saya sendiri seorang EO kegiatan pemerintah yang memutar musik – musik daerah seperti lagu khas Papua dimana tidak ada budget dari pemerintah untuk bayar royalti, lalu darimana kami membayar royalti tersebut”, imbuhnya.

Pertanyaan ini dijawab tegas dan lugas oleh Ketua LMKN Dharma Oratmangun, “seharusnya pembayaran royalti ini dicantumkan dalam rancangan anggaran biaya (RAB), tidak ada alasan apapun penyelenggara atau promotor musik baik perorangan atau badan hukum PT, Organisasi untuk tidak membayar royalti musik karena ini adalah printah undang – undang no.28 tahun 2014, partai Gerindra, Golkar dan PDIP saja bayar kepada kami”, tegasnya.

Diskusi ditutup dengan pemaparan data – data para promotor atau pengguna musik secara komersial yang sudah membayar dan yang belum atau tidak mau membayar royalti musik kepada LMKN.(SUSI)

Komentar