Jakarta – Mabesbharindo.com
Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan pentingnya kolaborasi yang kuat berbasis pendekatan pentahelix dalam membangun budaya siap siaga bencana. Hal ini disampaikan Pelaksana Harian (Plh.) Sekretaris BSKDN Tomy V Bawulang dalam Forum Diskusi Aktual (FDA) bertajuk “Strategi Optimalisasi Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Tahap Kegiatan Prabencana Berbasis Partisipasi Publik” di Golden Boutique Hotel Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Tomy menekankan bahwa keberhasilan penanggulangan bencana memerlukan keterlibatan seluruh elemen, yakni pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media massa. Menurutnya, sinergisitas pentahelix menjadi landasan penting untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana. Semua pihak harus berperan aktif sesuai kapasitasnya agar pengurangan risiko bencana dapat terlaksana secara optimal.
“BSKDN sebagai hub strategi kebijakan akan mengawal upaya-upaya menghasilkan rekomendasi kebijakan yang berkualitas terkait penanggulangan bencana khususnya prabencana ini, butuh kerja sama yang solid dengan berbagai pihak agar upaya penanggulangan dapat lebih optimal,” ungkap Tomy.
Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Prasinta Dewi menyampaikan bahwa upaya prabencana harus dimulai dari perencanaan strategis berbasis kajian risiko. “Seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi bencana yang beragam. Untuk itu, kolaborasi pentahelix diperlukan, mulai dari penguatan kebijakan, penyiapan logistik, hingga mitigasi berbasis masyarakat,” jelasnya.
Dia menjelaskan, hingga November 2024, terdapat 1.782 kejadian bencana, mayoritas didominasi bencana hidrometeorologi. “Dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan menuntut kita untuk lebih sadar dan siap. Partisipasi masyarakat dan sektor lain menjadi kunci,” tambahnya.
Sementara itu, Dewan Pakar Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Rahmawati Husein, menyoroti pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana. “Masih banyak masyarakat yang memiliki paradigma reaktif, bukan mitigatif. Budaya siap siaga harus dibangun melalui pendidikan berkelanjutan, baik di tingkat formal maupun informal,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Tenaga Ahli Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Jamjam Muzaki menegaskan, institusi pendidikan juga perlu menjadi pionir dalam menanamkan budaya mitigasi. “Kita sepaham dengan Bu Deputi bahwa paradigma penanganan yang responsif harus kita ubah dengan upaya preventif atau pencegahan, untuk meminimalisir dampak dari risiko bencana,” ujarnya.
Dalam forum ini, perwakilan pemerintah daerah seperti Penjabat (Pj.) Bupati Minahasa Noudy R.P. Tendean, menyoroti pentingnya implementasi kebijakan prabencana di tingkat lokal. “Kami optimistis melalui shifting mindset, daerah rawan bencana dapat meningkatkan ketahanan dengan pendekatan mitigatif,” tuturnya.
Sementara itu, Penjabat Sementara (Pjs.) Wali Kota Dumai T.R. Fahsul Falah menambahkan bahwa pola pikir kolaboratif harus menjadi dasar pengelolaan risiko bencana di daerah. “Kita perlu mengubah pola pikir dari pola pikir biasa saja menjadi growth mindset pola pikir yang bisa berkembang, peduli, maupun beradaptasi, harus tanggap,tangguh, enggak perlu kita ngeluh, tapi kita langsung melakukan kolaborasi dan sinergisitas,” tegasnya.
Di lain pihak, perwakilan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Embai Suhaimi menekankan pentingnya penguatan peran kelurahan dalam menghadapi bencana. “Kami tidak mengandalkan sepenuhnya pada pemerintah pusat. Sebaliknya, kami ingin setiap kelurahan memiliki kemampuan dan kemandirian untuk menangani potensi bencana. Harapannya, kelurahan di Jakarta dapat menjadi komunitas tangguh bencana,” pungkasnya.
Puspen Kemendagri
Komentar